DZIKIR JAHAR
Ucapkan kalimat “LAA” dengan diarahkan dari bawah pusat tarik sampai “ILAA” dengan diarahkan ke susu kanan atas, dan kalimat “HA” diarahkan ke arah susu kanan bagian bawah. Dan “ILLALLAH” diarahkan ke susu kiri yang bagian atas serta bawahnya, , namun lapadz jalalah yaitu lapadz “ALLAAH”nya diarahkan dengan agak keras ke susu kiri bagian bawah sekitar dua jari
BERDZIKIR
Suara keras dalam berdzikir bersama-sama pada waktu tertentu/ba‘da sholat fardhu akan berbekas dalam menyingkap hijab dan menghasilkan nur dzikir (HR Bukhari).
SHOLAT
Sholat adalah Ibadah yang sangat tinggi nilainya dibandingkan dengan ibadah lainnya, Sholat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab nantinya di akhirat.
Minggu, 28 April 2013
ADAB BERDZIKIR
Syeikh Abdul Wahab
Asy-Sya’rani Mereka juga sepakat, bahwa wajib bagi seorang murid untuk
berdzikir dengan keras sekuat mungkin. Sebab dzikir secara pelan (sirri) dan
lemah lembut tidak akan memberi manfaat kepada sang murid untuk bisa naik ke
tingkatan yang lebih tinggi. Mereka mengatakan: Wajib bagi seorang murid dalam
menempuh cara yang lebih cepat terbuka mata hatinya,
Mereka mengatakan: Keras
dalam berdzikir hendaknya dengan cara yang lembut, karena dikhawatirkan terjadi
keretakan dalam perut dan semakin membengkak, sehingga mengakibatkan tidak bisa
berdzikir dengan keras sama sekali. Orang yang berdzikir hendaknya berhati-hati
dalam melafalkan kalimat Tauhidy La
Ilaha IllaLlah ini, jangan sampai terjadi salah ucap. Karena kalimat ini
bersumber dari al-Qur’an. Maka harakat Lam yang ada pada La Nafi dibaca panjang
secukupnya, Hamzah yang ber-kasrah dibaca dengan jelas tanpa dipanjangkan sama
sekali, kemudian Lam setelahnya pada lafal Ilah dibaca panjang dengan mad
thabi’i, dan Ha’ yang jatuh setelahnya dibaca fathah tanpa dibaca panjang.
Kemudian Hamzah yang ada pada istisna’ di-kasrah dengan dibaca ringan tanpa
dipanjangkan, dan Lam Alif setelahnya juga tidak dipanjangkan. Dan lafal
Jalalah (Allah) Lam-nya dipanjangkan dan berhenti pada Ha’ dengan di-sukun bila
di-waqaf-kan.
Demikian pula hendaknya
tidak memanjangkan huruf Ha’ dari lafal Ilah, yang akibatnya mengubah bacaan
al-Qur’an. Demikian pula mengucapkan huruf Ha’ pada lafal Jalalah (Allah)
hendaknya tidak dibaca panjang, yang akan memunculkan huruf wawu. Tuan Guru Ali
bin Maimun, guru dari Tuan Guru Muhammad bin Iraq mengatakan: “Kesalahan baca
ini telah dilakukan oleh kaum fakir (sufi) non-Arab dan Romawi. Sementara
mengikuti sunah Muhammad Saw. dan ulama salaf adalah yang diharuskan.” Tuan
Guru Yusuf al-‘Ajami mengatakan: Adab dzikir yang telah mereka sebutkan adalah
untuk orang yang berdzikir secara sadar.
Sedangkan orang yang berdzikir di luar
kontrol kesadaran maka dzikirnya bersamaan dengan warid (rahasia-rahasia yang
datang ke dalam hatinya), sehingga kadang-kadang lidahnya berucap lafal: Allah
atau Huwa atau La atau Ah atau Aa atau Aa atau suara tanpa huruf atau ngawur.
Maka adabnya dalam kondisi di luar kontrol kesadaran ini adalah pasrah terhadap
warid yang datang. Apabila warid itu habis maka adabnya adalah diam tanpa berbicara
apa pun. Adab-adab sebagaimana tersebut di atas harus dilakukan oleh orang yang
berdzikir dengan lisan. Sementara orang yang berdzikir dengan hati maka
adab-adab tersebut tidak harus dilakukan.
Adapun tiga poin adab yang dilakukan
setelah berdzikir adalah sebagai berikut: Diam tanpa bicara setelah ia tenang,
khusyu’ dengan hati yang hadir, memperhatikan warid dzikir yang mungkin datang
sehingga pada saat itu warid yang memenuhi wujudnya lebih banyak daripada apa
yang dipenuhi oleh mujahadat (perjuangan spiritual) riyadhat (latihan
spiritual) selama tiga puluh tahun. Barangkali yang datang adalah warid zuhud,
sehingga ia menjadi orang yang zuhud, atau warid mampu memikul beban disakiti
orang lain sehingga menjadi penyabar, atau warid takut kepada Allah sehingga
menjadi orang yang takut kepada-Nya, demikian seterusnya. Imam al-Ghazali
mengatakan: Pada saat diam tanpa bicara ini memiliki beberapa adab, antara
lain: Pertama, seorang hamba menghadirkan hatinya, sehingga ia merasa bahwa
Allah senantiasa melihatnya dan ia sedang berada di depan-Nya; Kedua,
memusatkan semua inderawi sekiranya tidak ada satu bulu rambut pun yang
bergerak, seperti kondisi seekor kucing yang mau menerkam seekor tikus; Ketiga,
menghilangkan semua bisikan diri dan mengalirkan makna Allah, Allah pada hati"
.
Kemudian al-Ghazali
mengatakan: “Seorang yang berdzikir tidak akan membuahkan muraqabah (perasaan
selalu diawasi oleh Allah) kecuali disertai dengan adab-adab tersebut.”
Hendaknya mencela dirinya kira-kira tiga sampai tujuh pernafasan atau lebih,
sampai seluruh warid yang ada bisa beredar ke seluruh alam dirinya, sehingga
mata hatinya bisa bersinar, bisikan-bisikan diri dan setannya bisa terputus
darinya, dan semua hijab bisa tersingkap. Ini semua wajib dilakukan menurut
istilah mereka. Tidak diperkenankan minum air dingin setelah berdzikir. Sebab
dzikir bisa mengakibatkan terbakar, gejolak, dan kerinduan yang membara kepada
Yang selalu disebut dan diingat (Allah), yang merupakan tujuan terbesar yang
ingin dicapai dari dzikir.
Sementara minum air bisa memadamkan panasnya gejolak
dan membaranya kerinduan tersebut. Maka seorang yang berdzikir hendaknya selalu
memperhatikan dan berusaha melakukan tiga adab ini. Karena buah dari berdzikir
akan tampak dengan tiga adab ini. Dan hanya Allah Yang Mahatahu. Buah dan
Talqin Dzikir Secara Umum Perlu anda ketahui, bahwa talqin dzikir memiliki buah
secara umum dan juga buah secara khusus. Sedangkan dari masing-masing buah
terdapat tokohnya sendiri-sendiri. Maka buah yang bersifat umum, setelah seseorang
di-talqin dzikir, maka ia akan menjadi bagian dari suatu lingkaran, seakan-akan
menjadi rangkaian dari lingkaran rantai besi.
Apabila ia bergerak karena
ada suatu masalah, maka bagian dari rangkaian yang lain juga ikut bergerak.
Sebab antara masing-masing orang yang diberi mandat mulai dari Rasulullah Saw
hingga orang yang bersangkutan merupakan satu rangkaian dari silsilah. Ini
berbeda dengan orang yang tidak mendapatkan talqin (bimbingan) dzikir secara
lisan dari para guru, maka ia seperti bagian dari rangkaian yang terpisah.
Apabila ia bergerak karena ada satu masalah yang menjadi beban, maka tidak ada
seorang pun yang bergerak untuk membantunya, karena tidak ada hubungan antara
dia dengan yang lain. Saya pernah mendengar Tuan Guru Ali al-Murshifi berkata:
Talqin (bimbingan dzikir secara lisan) seorang guru kepada murid ibarat sebutir
benih yang ditanam di tanah gersang, yang pengairannya hanya bergantung dengan
turunnya hujan. Maka hasil produksi, perkembangan, dan berseminya daun sangat
bergantung pada kesanggupannya menyerap air dalam kadar banyak atau tidaknya
sesuai dengan pengairan yang ada, dan bukan bergantung pada seorang guru yang
menanam benih.
Seorang guru hanya
memiliki benih yang siap ditanam, sedangkan yang berhak menumbuhkan adalah al-Haq
Swt. Bisa jadi seorang guru menanamkan benih pada bumi seorang murid, lalu ia
tumbuh tapi kemudian mati. Maka buah yang bisa dituai bisajadi nanti di tangan
seorang guru lain setelahnya. Ini bisa jadi karena lemahnya semangat sang murid
atau karena makna-makna dzikir tidak mampu menguasai dan mempengaruhi hati dan
lisannya secara terus-menerus. Kaum sufi mengatakan:
Sesungguhnya pengaruh dzikir setelah di-talqin
seperti pengaruh hujan terhadap benih setelah ditanam. Karena hal itu pula yang
bakal mempengaruhi terbukanya mata hati dan hasil produksi. Maka bisa
dimengerti, bahwa seorang murid setelah di-talqin tidak cukup hanya menghadiri
majelis dzikir bersama kaum sufi yang lain di pagi dan sore hari, sebagaimana
yang terjadi pada kebanyakan murid di zaman ini. Sebab buah dari dzikir seperti
itu hanya seperti orang yang meneteskan setetes air pada benih yang ditanam di
saat pagi hari dan setetes air lagi di sore hari. Sementara angin dan terik
matahari dalam rentang waktu pagi hingga sore sudah menghabiskan tetesan air
tersebut. Hal itu tidak akan bisa membasahi bumi yang ditanami benih, bahkan
bisa jadi tetesan air itu tidak bisa sampai ke benih, sehingga benih ini butuh
waktu lama untuk bisa terbuka.
Dan bisa jadi ia sudah
mati dan belum ada tanda-tanda untuk terbuka. Barangkali murid seperti ini hanya akan bisa menyalahkan guru yang
men-talqin-nya, kemudian ia mengatakan, “Sebenarnya saya tidak perlu
bimbingan dan talqin dari guru ini, karena tidak ada hasil dan manfaatnya bagi
diri saya.” Ia tidak paham, bahwa tugas seorang guru hanyalah menanam benih di
bumi si murid. Sementara tugas seorang murid adalah memperbanyak dzikir dan
berperilaku dengan perbuatan-perbuatan yang diridhai. Kemudian kalau terbukanya
si murid ini terlalu lamban, maka hal itu kembali kepada Allah, dan bukan
dialamatkan kepada sang guru.
Maka murid yang
semangatnya sangat kendor ini ibarat kapas yang digunakan untuk menyulut bunga
api pada korek. Apabila kapas itu kering maka percikan bunga api akan segera
menyala, tapi kalau kapas itu basah maka seluruh percikan bunga api akan padam.
Maka pahamilah! Kalau seorang murid
telah mendapatkan bimbingan dan talqin dzikir dari seorang guru, kemudian ia
berbuat maksiat atau berperilaku yang menyalahi kesopanan (adab), maka ia wajib
mengulangi pen-talqin-an, agar setan yang ada di dalam dirinya bisa keluar
dari sarangnya. Sebab talqin dzikir adalah sarana untuk mengusir setan,
sedangkan berperilaku yang menyalahi kesopanan dapat memasukkan setan ke dalam
dirinya. Kami pernah mendengar Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi berkata: “Apabila
seorang murid telah mendapatkan talqin, kemudian ia melakukan tindakan yang
menyalahi kesopanan, maka ia ibarat sebutir benih yang dimakan ulat, lalu
membusuk dan berubah wujud. Setelah itu tidak ada harapan untuk bisa tumbuh dan
bersemi, apalagi menghasilkan buah. Akan tetapi benih yang ditanam sang guru
tersebut akan rusak secara total.” Kasus seperti ini banyak dialami oleh para
murid di zaman sekarang ini.
Tak seorang pun dari
mereka yang berusaha memperbarui talqin kepada sang guru. Akhirnya mereka tidak
mendapatkan manfaat apa-apa, dan hanya menjadi tubuh yang tak bernyawa, ibarat
sebatang kayu yang disandarkan. Maka tidak ada upaya dan kekuatan apa pun
selain dengan Allah Yang Maha Agung. Buah dari Talqin Secara Khusus Talqin
secara khusus adalah talqin suluk (perilaku menempuh Jalan Allah) setelah ia
masuk ke dalam lingkaran (anggota) kaum sufi, dimana gambarannya adalah sebagai
berikut: Seorang guru tarekat akan bermunajat dan menghadap kepada Allah Swt.
kemudian ketika ia berkata kepada sang murid: “Ucapkan kalimat: Laa ilaa ha illallahu“ maka ia mencurahkan kepada
sang murid seluruh ilmu syariat suci yang telah menjadi bagiannya.
Setelah sang murid ini
mendapatkan talqin, ia tidak perlu lagi menelaah kitab-kitab syariat sampai ia
mati. Syekh Abu al-Qasim al-Junaid —rahimahullah— berkata: “Ketika guruku,
Syekh Sari as-Saqathi men-talqin-ku maka beliau mencurahkan seluruh ilmu
syariat yang ia miliki kepadaku.” Al-Junaid juga berkata: “Tidak ada ilmu yang
turun dari langit dan Allah menjadikan jalan untuk makhluk menuju ke sana,
kecuali Allah juga akan memberiku bagian tertentu untuknya.” Ia juga pernah
berkata: “Orang yang hendak menjadi pemimpin dalam pengambilan janji (sumpah),
membimbing dzikir (talqin) dan menunjukkan jalan para murid dibutuhkan orang
yang benar-benar mendalami ilmu syariat.
Sebab setiap
gerak-geriknya akan menjadi pertimbangan secara hukum (syariat).” Kalau di saat
ini ada orang yang mengklaim dirinya telah menjadi guru tarekat (sufi) dan kemudian
mengatakan, bahwa hal ini tidakmenjadi syarat dalam melakukan talqin dan
bimbingan kepada para murid, ini hanya karena ia tidak sanggup melakukannya.
Kalau ada guru tarekat seperti ini maka kita bisa mengatakan kepadanya, “Ini
berarti anda telah mengatakan, bahwa para guru tarekat salaf adalah orang-orang
bodoh.” Ini banyak terjadi pada orang-orang yang telah mendirikan perguruan
tarekat dengan cara yang tidak benar. Sehingga ia mengatakan tentang setiap
syarat yang ia lihat pada setiap tingkatan spiritual (maqamat) bukanlah
termasuk syarat menjadi guru tarekat yang hendak men-talqin dan membimbing para
murid. Hal ini ia katakan demikian, karena ia takut aibnya terbuka di
masyarakat. Andaikan ia orang yang berakhlak mulia dan memiliki kesopanan tentu
ia akan berkata, “Hal ini aku tidak sanggup melakukannya.” Kemudian ia meminta
kepada guru lain yang bisa mengantarkannya, sebagaimana yang dilakukan
orang-orang yang jujur.
Manfaat Dzikir dan Cara Melakukannya Perlu
anda ketahui, bahwa manfaat dzikir tidak bisa dihitung jumlahnya. Sebab orang
yang berdzikir akan menjadi “teman dekat” Allah, yang tidak ada lagi perantara
antara dia dengan Allah Swt. Maka tidak ada seorang pun yang tahu, berapa
banyak apa yang dipilihkan Allah untuknya dari berbagai ilmu dan rahasia ketika
ia sedang berdzikir. Karena ini merupakan hadirat yang tidak seorang pun bisa
mendatangi dan memisahkannya tanpa pertolongan Allah Swt. Maka bisa ditanyakan
kepada orang yang mengaku, bahwa saat berdzikir ia bisa hadir dengan sepenuh
hati ke hadirat Allah Swt.:
“Apa yang dipilihkan dan diberikan kepada anda
di majelis ini?” Kalau ia menjawab, “Kami tidak diberi apa-apa?” Maka kita bisa
mengatakan kepadanya, “Anda adalah orang lain yang tidak mau menghadirkan
sesuatu, maka ambil dan jadikan sesuatu (yakni guru) yang bisa menghilangkan
berbagai kendala dan halangan dari diri anda untuk bisa hadir dengan sepenuh
hati.” Kalau ia belum juga mengambil dan menjadikan seorang guru, maka kita
bisa mengatakan kepadanya, “Maka perbanyaklah dzikir sekalipun tidak bisa hadir
sepenuh hati.”
Demikianlah sebagaimana
yang dikatakan oleh penulis Kitab al-Hikam, Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandary,
“Janganlah anda meninggalkan dzikir hanya karena anda tidak bisa hadir sepenuh
hati dengan Allah. Sebab lupa Allah dengan tidak berdzikir itu lebih parah
daripada lupa anda dengan Allah ketika sedang berdzikir.” Semoga Allah
meningkatkan anda dari dzikir yang disertai dengan kelengahan hati menuju
dzikir yang disertai dengan kesadaran hati, dan kemudian meningkat menjadi dzikir
yang disertai dengan kehadiran hati, dan dari dzikir yang disertai kehadiran
hati menuju dzikir disertai dengan hilangnya segala sesuatu selain Yang diingat
(yakni al-Madzkur, Allah). Dan hal itu bukanlah hal yang berat bagi Allah. Kaum
sufi telah sepakat, bahwa dzikir merupakan kunci segala kegaiban, menarik
kebaikan, penghibur orang yang sedang gelisah, dan mandat kewalian. Maka tidak
sepantasnya seseorang meninggalkan dzikir sekalipun dengan hati yang lengah.
Andaikan bukan karena mulianya dzikir tentu saja kegiatan yang tidak dibatasi
oleh waktu, kondisi dan tempat tertentu ini sudah cukup sebagai isyarat
kemuliaannya. Allah Swt berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat (berdzikir) kepada Allah, baik dengan
berdiri, duduk maupun sambil berbaring ...“ (Q.S. Ali Imran: 191)
Tidak ada yang lebih cepat
untuk membuka pintu rahmat Allah daripada dzikir. Dimana ia merupakan penyatu
dari berbagai kesemerawutan hati orang yang bersangkutan. Apabila dzikir telah
menguasai orang yang berdzikir, maka NamaYang diingat akan bercampur dengan ruh
orang yang berdzikir, sehingga pernah terjadi pada sebagian orang yang
berdzikir, kepalanya terbentur oleh batu, lalu darah yang menetes ke tanah
mengukir lafal Allah, Allah.
Perlu anda ketahui wahai
saudaraku, bahwa tidak akan bisa merasakan kedamaian dengan berdzikir kecuali
orang yang bisa merasakan kegelisahan akibat lupa Allah. Sementara orang yang
sudah terlalu hanyut tidak akan menemukan kedamaian dan kegelisahan. Ia tidak
takut binatang buas maupun ular. Setelah kami sebutkan sekilas tentang manfaat
dzikir, maka berikut akan kami sebutkan tentang keutamaan dzikir yang
disebutkan pada beberapa Hadis Nabi Saw.
Sebab semangat hati akan menjadi kuat dengan
melihat beberapa kelebihan dan keutamaan yang disebutkan pada dalil.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim dan para ahli hadis
yang lain dengan Hadis Marfu’: “Bolehkah aku memberi tahu kalian tentang amal
kalian yang terbaik, yang paling bersih di sisi Tuhan Sang Raja, paling tinggi
derajatnya, lebih baik bagi kalian daripada kalian menginfakkan emas dan uang,
dan lebih baik bagi kalian daripada kalian bertemu musuh lalu kalian mampu
memenggal leher mereka dan mereka juga memenggal leher kalian?” Para sahabat
menjawab, “Tentu! Ya Rasulullah.” Maka Rasulullah memberi jawaban: “Yaitu
dzikir kepada Allah.” Imam al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dengan Hadis
Marfu’ yang panjang, berikut hanya sebagian dari potongan Hadis tersebut:
“Allah Swt. berfirman: ‘Aku berada pada dugaan hambaKu terhadap Diri-Ku, dan
Aku selalu bersamanya ketika ia mengingat-Ku’.”
Dalam riwayat lain
disebutkan: “Aku bersama hamba-Ku ketika ia mengingat-Ku dan kedua bibirnya
selalu bergerak karena-Ku.” Mu’adz bin jabal r.a. berkata: Terakhir kali ucapan
yang pernah kudengar dari Rasulullah, kemudian tidak lama beliau wafat dimana
aku sempat bertanya kepada beliau, “Amal apa yang paling disenangi oleh Allah
Swt.?” Maka beliau menjawab, “Engkau mati, sementara lisanmu masih basah untuk
mengingat Allah.”
Dalam Kitab Sahih disebutkan dengan Hadis
Marfu’: “Sesungguhnya segala sesuatu ada alat untuk menggosok hingga mengkilap,
dan sesungguhnya alat untuk memengkilapkan hati adalah berdzikir kepada Allah.
Dan tidak ada sesuatu yang lebih bisa menyelamatkan diri dari siksa Allah
daripada berdzikir kepada Allah. ” Kemudian para sahabat bertanya, “Bukankah
berjihad demi membela agama Allah?” Beliau menjawab, “Dan tidak pula ia mampu
memenggal leher musuh dengan pedang hingga terputus.” Sementara itu Ibnu Hibban
meriwayatkan dalam Kitab Sahihnya, dengan Hadis Marfu’: “Sungguh ada suatu kaum
di dunia yang masih berdzikir kepada Allah di atas tempat tidurnya yang
terbentang, maka Allah akan memasukkan mereka ke tingkatan-tingkatan
tertinggi.” Imam al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’:
“Perumpamaan orang yang selalu berdzikir
(mengingat) Tuhannya dengan orang yang tidak pernah mengingat Tuhannya adalah
seperti orang hidup dengan orang mati.” Imam Ahmad dan ath-Thabrani
meriwayatkan: Bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai
Rasulullah, siapa orang yang berjihad demi agama Allah yang paling besar
pahalanya?” Maka Rasulullah menjawab, “Mereka yang paling banyak mengingat
Allah, kemudian mengingat shalat, zakat, haji, dan sedekah.” Sementara itu
Rasulullah hanya mengatakan, “Mereka yang paling banyak mengingat Allah.” Lalu
Abu Bakar berkata kepada Umar, “Wahai Abu Hafsh, orang-orang yang selalu
mengingat Allah pergi dengan membawa seluruh kebaikan. ” Kemudian Rasulullah
menimpali, “Ya, tentu saja.” Ath-Thabrani meriwayatkan, bahwa Rasulullah
bersabda: “Tidak ada yang disesali oleh penghuni surga kecuali saat-saat yang
telah berlalu dimana mereka tidak mengingat Allah Swt.” Ath-Thabrani juga
meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Barangsiapa tidak mengingat Allah maka ia
benar-benar bebas dari iman.” Syekh Abu al-Mawahib berkata, “Barangsiapa
melupakan Allah maka ia benar-benar telah kufur.” Dalam sebuah Hadis Qudsi
disebutkan: “Allah Azza wa Jalla berfirman: Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya
jika kamu mengingat-Ku berarti kamu telah bersyukur kepada-Ku, dan jika kamu
melupakan-Ku berarti kamu telah kufur kepada-Ku.”
Lupa di sini secara
mutlak, baik lupa akibat kelengahan yang terjadi karena kebodohan tentang Allah
sehingga ia menyekutukan-Nya, atau lupa karena lengah dan berpaling dan al-Haq,
sementara cara yang ditempuh adalah tercela. Kalau ada pertanyaan, “Mana yang
paling bermanfaat antara dzikir sendirian dengan dzikir secara berjamaah?” Maka
jawabannya bisa berbeda-beda: Dzikir sendirian tentu lebih bermanfaat bagi
orang-orang yang mampu mengasingkan diri dan makhluk (khalwat). Begitu
sebaliknya, dzikir secara berjamaah akan lebih bermanfaat bagi mereka yang
tidak bisa mengasingkan diri dari makhluk. Jika anda bertanya: Mana yang paling
bermanfaat antara dzikir secara pelan-pelan (sirri) dengan dzikir secara keras?
Maka jawabannya adalah, bahwa dzikir secara keras akan lebih bermanfaat bagi
para pemula yang hatinya masih belum lunak. Sedangkan dzikir secara sirri akan
lebih bermanfaat bagi mereka yang telah suluk dan dikuasai oleh kebersamaan
(dengan Allah).
Jika anda bertanya: Apakah
perkumpulan untuk berdzikir itu lebih baik ataukah justru tindakan bid’ah
sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang? Maka kami jawab: Perkumpulan
tersebut justru dianjurkan dan disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu ibadah
apa yang lebih baik dari ibadah suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir
kepada Allah, dan dengan dzikir mereka bermunajat kepada-Nya? Jika anda
bertanya: Apa argumentasi yang menguatkan, bahwa perkumpulan untuk berdzikir
bersama itu lebih baik? Maka kami jawab: Dalil yang menguatkan hal itu adalah
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan at-Tirmidzi dengan Hadis Marfu’:
“Setiap kali suatu kaum duduk bersama untuk berdzikir kepada Allah, tentu akan
ada malaikat yang mengepungnya, diliputi oleh rahmat dan diturunkan suatu
ketenangan, dan Allah akan menuturkan mereka kepada makhluk yang ada di
sisi-Nya.” Imam al-Bukhari juga meriwayatkan dengan Hadis Marfu’: “Sesungguhnya
Allah Swt. memiliki para malaikat yang selalu berkeliling untuk mencari
orang-orang yang biasa berdzikir. Apabila mereka menemukan suatu kaum yang
berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, mereka akan saling memanggil: “Kemarilah
pada apa yang kalian perlukan.” Rasulullah melanjutkan kisahnya: ‘Akhirnya
mereka mengepung kaum tersebut dengan sayap-sayap mereka mengarah ke langit
dunia.’” Imam Ahmad meriwayatkan Hadits dan Rasulullah dengan sanad yang baik:
“Setiap kali ada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Azza wa
Jalla, dimana mereka hanya mengharapkan ridha-Nya, tentu akan ada yang
memanggil dari langit: Hendaknya kalian bangkit dengan terampuni dosa-dosa
kalian.
Sungguh kejelekan kalian telah diganti dengan
kebaikan.” Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan sebuah Hadis Marfu’ dengan sanad
yang baik dan yang searti dengan Hadits di atas: “Setiap kali ada suatu kaum
yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dimana mereka hanya
mengharapkan ridhaNya, tentu akan ada yang memanggil dari langit: Jika kalian
lewat di pertamanan surga maka merumputlah!” Kemudian para sahabat bertanya:
“Apa yang dimaksud pertamanan surga wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw.
menjawab: “Yaitu lingkaran manusia ketika sedang berdzikir.” Ibnu Hibban
meriwayatkan Hadis Marfu’ dalam Kitab Sahihnya: ‘Allah Swt. berfirman: Bakal
diketahui Ahlul Jam’i (orang-orang yang biasa berkumpul) dengan Ahlul Karam
(mereka yang dermawan).
Kemudian Rasulullah
ditanya, Siapa Ahlul Karam itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka
orang-orang yang biasa berdzikir di mesjid-mesjid. Maka berdzikirlah kepada
Allah sehingga orang-orang mengatakan, ‘Ia orang gila’.” Abu Dawud
meriwayatkan: “Sungguh aku duduk bersama kaum yang berdzikir kepada Allah Swt.
mulai dari shalat Subuh hingga terbit matahari, adalah lebih aku senangi
daripada memerdekakan empat orang budak dari anak cucu Ismail.
Dan sungguh aku duduk
bersama kaum yang berdzikir kepada Allah Swt. mulai dari shalat Asar hingga
terbenam matahari, adalah lebih aku senangi daripada memerdekakan empat orang
budak.” Para ulama mengatakan: Rasulullah mengkhususkan anak cucu Nabi Ismail
a.s., karena memerdekakan seorang budak dari keturunan Ismail a.s. nilainya
sama dengan memerdekakan dua belas orang budak selain keturunan Ismail. Imam
Alimad meriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang mengatakan: Aku bertanya
kepada Rasulullah Saw, “Apa keuntungan dari majelis-majelis dzikir?” Beliau
menjawab, “Keuntungan dari majelis dzikir adalah surga.” Syekh Izzuddin bin
Abdussalam mengatakan: Hadits ini dan yang semisal disamakan dengan tingkatan
perintah.
Sebab setiap perbuatan
yang dipuji oleh Sang Pembuat syariat atau pelakunya dipuji karena perbuatan
tersebut atau dijanjikan dengan kebaikan, baik sekarang maupun yang akan
datang, maka perbuatan tersebut diperintahkan. Hanya saja perintah ini ada
pilihan antara wajib dan sunah (dianjurkan). Sementara Hadis-hadis yang
menerangkan hal ini cukup banyak. Para ulama, baik salaf maupun khalaf telah
bersepakat dalam menganjurkan dzikir kepada Allah Swt. secara berjamaah, baik
di mesjid maupun di tempat-tempat yang lain. Kesepakatan ini tidak ada seorang
pun dari mereka yang menentangnya. Kecuali bila kegiatan dzikir mereka bisa
mengganggu ketenangan orang yang sedang tidur atau orang yang sedang shalat
atau membaca al-Qur’an dan lain-lain, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
kitab-kitab fikih. Imam al-Ghazali menyamakan dzikir seorang diri dan dzikir
secara berjamaah dengan adzan sendirian dan adzan secara bersama, dimana ia
mengatakan: “Sebagaimana suara orang-orang yang berazan secara bersama akan
lebih menggema di angkasa daripada suara adzan sendirian.
Maka berdzikir secara berjamaah dengan satu
hati tentu lebih berpengaruh dalam menghilangkan hijab (tabir) daripada
berdzikir seorang diri.” Adapun masalah pahala yang mereka dapatkan ketika
sedang berdzikir secara berjamaah, maka masing-masing orang akan mendapatkan
pahala dan dzikirnya dan pahala dan mendengar dzikir temannya. Sementara alasan
yang menguatkan tentang dzikir dengan berjamaah akan lebih berpengaruh dalam
menghilangkan hijab, adalah karena al-Haq Swt. telah menyamakan hati dengan
batu yang keras.
Sebagaimana yang kita
maklumi, bahwa batu besar sulit dipecahkan kecuali dengan kekuatan bersama yang
berpadu dalam satu hati. Sebab kekuatan bersama akan lebih dahsyat daripada
kekuatan seorang diri. Oleh karenanya, mereka menyanatkan dalam berdzikir harus
dengan kekuatan yang optimal. Mereka berargumentasi dengan firman Allah Swt.,
“Kemudian setelah itu hati meneka mengeras bagaikan batu, atau justru lebih
keras daripada batu, (Q.S. al-Baqarah: 74). Sebagaimana batu tidak bisa
dipatahkan kecuali dengan kekuatan yang dahsyat. Maka demikian pula dzikir
tidak mampu mengumpulkan kesemerawutan hati yang bersangkutan kecuali dengan
kekuatan yang optimal.
Kalau ada pertanyaan:
Dzikir manakah yang terbaik antara La Ilaha IllaLlah atau ditambah dengan :
“MuhammadurRasulullah” (Muhammad Utusan Allah)? Maka jawabannya: Dzikir yang
terbaik bagi orang-orang yang menempuh jalan Allah (para salik) adalah La Ilaha
IllaLlah tanpa ditambah dengan “Muhammadun-Rasulullah“, sampai berhasil adanya
kebersamaan dengan Allah Swt. di dalam hatinya.
Ketika kebersamaan ini
telah terjadi pada hati seseorang maka dzikir yang terbaik ditambah dengan
Muhammadun-Rasulullah. Sebab dzikir Muhammad Rasulullah adalah sebuah pengakuan
(ikrar), sedangkan pengakuan bisa hanya sekali dalam seumur hidup. Dan tujuan
mengulangulang kalimat Tauhid “La Ilaha IllaLlah” adalah memperbanyak
penyingkapan terhadap hijab-hijab nafsu, disamping juga mengucapkan kalimat
Tauhid “La Ilaha IllaLlah” berarti menunaikan perintah Rasulullah yang pernah
mengatakan: “Ucapkan kalimat, ‘La Ilaha IllaLlah,’” ini berarti sekaligus
menetapkan dan mengakui tentang kerasulannya.
Oleh karenanya, dalam
sebagian riwayat hanya menyebutkan dengan kalimat “La Ilaha IllaLlah” dimana
Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai
mereka mengucapkan kalimat: ‘La Ilaha IllaLlah (tiada Tuhan yang haq selain
Allah).’ Apabila mereka telah mengucapkannya, berarti mereka benar-benar telah
melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali yang menjadi hak Islam dan
perhitungannya kepada Allah.” Dalam riwayat ini Rasulullah tidak mengatakan:
“Muhammadur-Rasulullah (Muhammad Utusan Allah.)” Sebab kesaksian ini juga
mengandung kesaksian akan kerasulannya.
Kalau ada pertanyaan: Mana
yang terbaik antara dzikir dengan membaca al-Qur’an, dimana membaca al-Qur’an
merupakan dua kegiatan ritual sekaligus, yakni membaca dan juga dzikir? Maka
jawabannya: Dzikir adalah lebih baik bagi murid, dan membaca al-Qur’an lebih
baik bagi orang yang sudah sempurna yang mampu mengetahui keagungan Allah Swt.
Sementara yang kami maksud dzikir dan membaca al-Qur’an di sini tidak terikat
dengan waktu. Akan tetapi kalau terikat dengan waktu dan kondisi maka dzikir
akan lebih baik bila diletakkan pada posisinya dari membaca al-Qur’an, juga
akan lebih baik bila diletakkan pada posisinya.
Disunting oleh : Ags Badar.....
TUJUH KEUTAMAAN BERDZIKIR "LAA ILAHA ILLAALLAH"
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, "Kalimat Tauhid (Laa ilaha illallah) memiliki keutamaan yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung."
Tapi kebanyakan kita tidak tahu keutamaan kalimat tauhid atau tahlil ini, berikut adalah beberapa keutamaan kalimat tahlil "Laa ilaha ilallah",
- Kalimat 'Laa ilaha illallah' merupakan harga surga, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,"Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah 'lailaha illallah', maka dia akan masuk surga" (HR. Abu Dawud no. 1621)
- Kalimat 'Laa ilaha ilallah' adalah kebaikan yang paling utama, Abu Dzar berkata,"Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila engkau melakukan kejelekan (dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau akan mendapatkan sepuluh yang semisal." Lalu Abu Dzar berkata lagi, "Wahai Rasulullah, apakah 'laa ilaha illallah' merupakan kebaikan?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Kalimat itu (laa ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan."
- Kalimat 'Laa ilaha illallah' adalah dzikir yang paling utama, Dari Jabir rodhiyallohu 'anhu , dari Nabi sholallohu 'alaihi wasallam beliau bersabda : "Dzikir yang paling utama adalah laa ilaha illallah, dan doa yang paling utama adalah alhamdulillah."(HR. Ibnu Majah, An Nasa'I - Shohih Targhib wa Tarhib : 1526 )
- Kalimat 'Laa ilaha ilallah' adalah pelindung api neraka, Dari Umar rodhiyallohu 'anhu ia berkata : saya mendengar Rasulullah sholallohu 'alaihi wasallam bersabda : "Sungguh aku akan mengajarkan sebuah kalimat, tidaklah seorang hamba mengucapkannya dengan benar dari hatinya, lalu ia mati diatas keyakinan itu, kecuali (Allah) mengharamkan tubuhnya dari api neraka. Yaitu kalimat laa ilaha illallah. (HR. Hakim - Shohih Targhib wa Tarhib : 1528 ). Suatu saat Nabi shallallahu 'alaihi wa salam mendengar muadzin mengucapkan 'Asyhadu alla ilaha illallah'. Lalu beliau mengatakan pada muadzin tadi, "Engkau terbebas dari neraka."(HR. Muslim no. 873)
- Kalimat 'Laa ilaha illallah' adalah dzikir dan perantara doa, Dari Abu Sa'id Al Khudri rodhiyallohu 'anhu dari Nabi sholallohu 'alaihi wasallam beliau bersabda : Musa berkata : Wahai Tuhanku ajarkanlah kepadaku sesuatu, yang aku akan berdzikir dan berdoa kepadaMu dengannya. Allah berfirman : Wahai Musa ucapkanlah Laa ilaha illallah. Musa berkata : Wahai Tuhanku seluruh hambaMu mengucapkan kalimat ini. Allah berfirman : Wahai Musa ! Seandainya langit tingkat tujuh dan apa yang ada didalamnya serta bumi tingkat tujuh selain Aku diletakkan di suatu timbangan, dan laa ilaha illallah diletakkan di timbangan yang lain, maka akan berat timbangan laa ilaha illallah." (HR. Ibnu Hibban, Hakim - Fathul Bari : 11/28 )
- Kalimat 'Laa ilaha ilallah' menunda kiamat, Dari Anas bin Malik rodhiyallohu 'anhu ia berkata : Rasulullah sholallohu'alaihi wassalam bersabda : "Tidak akan terjadi kiamat (apabila) masih ada orang yang menyebut laa ilaha illallah".(HR. Ibnu Hibban, - Ta'liqotul Hisan : 6809, Ash Shohihah : 3016)
- Dzikir Laa ilaha illallah pahalanya paling banyak,Sebagaimana terdapat dalam shohihain (Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda,"Barangsiapa mengucapkan 'laa il aha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'ala kulli syay-in qodiir' [tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian.Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu] dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan, pen), dicatat baginya 100 kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan pada siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu." (HR. Bukhari no. 3293 dan HR. Muslim no. 7018)
Dan masih banyak lagi keagungan – keagungan dzikir tahlil "Laa ilaha illaallah", marilah kita berdzikir "laa ilaha illaallah" sebanyak – banyaknya dengan hati yang tulus ikhlas diwaktu pagi dan petang, sebagaimana firman Allah "Wahai orang – orang beriman, berdzikirlah kepada Allah, sebanyak – banyaknya." (Al- Ahdzab:41)
Kamis, 25 April 2013
KEYAKINAN AKAN MURSYID PEMBIMBING
Dari mana
kita berasal….? Untuk apa kita dilahirkan...? Kemana kita akan pulang kembali ... ?
Belajar
merupakan suatu kewajiban… ilmu mengenai kehidupan sehari-hari, berdagang,
fisika, biologi, management dan aspek-aspek kehidupan sosial serta cara kita
beribadah yakni ilmu fiqih semuanya dapat kita pelajari dari pengalaman maupun
buku-buku ataupun dunia maya saat ini.
Namun untuk
urusan pembinaan rohani, substansi yang halus dalam tubuh tidaklah bisa
dipelajari tanpa bimbingan seorang guru. Guru yang memang sebenar-benar guru
yang dalam istilah tarekat sufi disebut Mursyid.
Wajib bagi
kaum muslimin yang sudah baligh dan dewasa untuk menuntut ilmu di
tarekat-tarekat mu’thabaroh yang silsilahnya bersambung sampai kepada para
tabiit tabiin, tabiin, para sahabat ra. dan kepada Baginda Rasulullah S.A.W.
mengapa
demikian?
1. Akal pikiran
yang dianugrahi Alloh SWT. kepada manusia tidak akan sanggup untuk mengenal
Allah SWT. Sang Maha Pencipta dengan sesungguhnya;
2. Manusia
tidak akan bisa mengenal Sang PenciptaNya sebelum mengenal dirinya sendiri (man
arofa nafsa fakod arofa robba)
3. Yang
perlu dikenal oleh manusia tentang dirinya bukanlah hanya fisik atau
jasmaninya, namun subtansi halus dalam dirinya, sebagaimana Sabda Nabi Muhammad
S.A.W. : di dalam diri manusia ada sepotong daging yang jika ia baik maka baik
pulalah dirinya, yakni qalbu (dalam bahasa Indonesia disebut hati). Hati yang
dimaksud bukan liver, tetapi qalbu atau dalam bahasa Inggris Heart (simbolnya
jantung). Jantung di sini merupakan wadah atau tempat dari substansi halus
dalam diri manusia (latifah rabbaniyah).
4. Hanya
guru Mursyid yang dapat membimbing ruhani manusia dalam mengenal dirinya dan
Tuhannya
5. Mengenal
sang Pencipta agar timbul suatu rasa dalam diri manusia itu selalu diawasi oleh
Tuhannya , selalu merasa bersamaNya, dan itu tidak bisa hanya di fikiran, yang
merasakan itu qalbu.
Setelah
bertemu dengan guru Mursyid yang kamil mukammil, tentunya seorang muslim yang
belajar tarekat akan berbait (mengucapkan janji setia) dan di-talqin
(ditanamkan bibit kalimah taqwa oleh Mursyidnya).
Dalam
beberapa tarekat seorang mursyid biasanya mengangkat pembantu/wakil guna
melaksanakan prosesi baiat/talqin tersebut. Namun hakikatnya tetaplah mursyid
itu sendiri yang mentalqin murid/pesuluk yang baru masuk ke dalam tarekat.
Perjalanan
tarekat ke depannya ada beberapa guru mursyid yang sudah meninggal, namun
tarekat tersebut masih eksist karena adanya peran dari wakil-wakil talqin
mursyid tersebut. Hal tersebut sudah lumrah dalam suatu tarekat, dan sudah
banyak yang terjadi dalam beberapa kasus di beberapa tarekat sejak lebih seribu
tahun yang lalu.
Seorang
wali mursyid yang sudah wafat dengan izin Allah S.W.T. tentu tetap dapat
membimbing murid-muridnya, dan murid-muridnya pun tidak perlu ragu dan wajib
untuk yakin. Wali Mursyid tetaplah hidup hanya berpindah saja dari jasadnya ke
sisi Allah SWT. Sebagai mana keterangan dari beberapa kitab berikut:
Keterangan
dari Kitab :
1.
Jaami’al al-Ushuul Fi
al-Auliyaa’ hal.7
Ketahuilah
bahwa setiap wali itu memiliki keistimewaan dan kemampuan berbuat sesuatu saat
masih hidup dan sesudah mati, misalnya kemampuan yang dimiliki oleh Syaikh
Muhammad Baha’uddin, guru thariqat Naqsyabandiyah dalam mengajarkan hakikat dan
larut dalam sifat2 Ketuhanan, juga kemampuan berbuat dan memberikan pertolongan
yang dimiliki oleh Syaikh Abdul Qodir ALJaelani qs. serta kemampuan
menyampaikan ilmu dan wirid yang dimiliki oleh Syaikh Abu AlHasan al-Syadzili…
Syaikh Ali al-Qurasyi mengatakan,”Saya melihat empat orang Sayikh beraktivitas
beraktivitas di dalam kubur mereka seperti aktivitas orang hidup yakni: Syaikh
Abdul Qodir ALJaelani qs., Syaikh Ma’ruf Al-Karqhi,Syaikh Aqil al-Munji dan
Syaikh Hayat bin Qais.
2. Tanwirul
Qulub, hal.520. : hazaa wafiimaa zakarnaahu dalalatun qowiyyatun ‘ala anna
lilauliyaa i tashorruffan ba’dal mauti.
(Keterangan
ini dan apa yang telah kami sebutkan adalah bukti yang kuat bahwa para wali itu
memiliki kemampuan beraktivitas -seiizin Alloh- setelah mati/wafat)
Demikianlah
seorang murid sufi semestinya tetap memegang adab. Tidak bertanya dan
mempersoalkan sesuatu yang bukan wilayahnya. Tugas seorang murid hanyalah
mengamalkan dengan sungguh-sungguh janji setianya dan amaliyah serta amanah
yang diberikan guru mursyid,
Sebab
tarekat mu’thabaroh itu adalah milik Alloh dan rasulullah s.a.w., ada rahasia
di balik rahasia yang tidak mudah dan sembarang orang untuk dianugrahi
mengetahuinya.
Diam itu
emas jika disertai selalu dengan dzikirullah…
wallohua’alam…
Disunting Oleh : Agus Badaruddin
Read more: http://www.dokumenpemudatqn.com
Read more: http://www.dokumenpemudatqn.com
PERJALANAN SPIRITUAL MENUJU MA'RIFATULLAH
Tahap pertama yang harus kita lakukan
untuk mencapai derajat ma’rifatul Dzat adalah menetapkan niat atau tujuan
bahwasannya semua amalan yang kita lakukan karena Alloh dan hanya mengharapkan
ampunan serta ridho-Nya. Selanjutnya untuk memurnikan tujuan tersebut adalah
mencari ulama ahladz-dzikri yang
sudah bisa kembali kepada Alloh dan berderajat waliyuloh agar semua amalan yang
kita lakukan didasari oleh hati ikhlas, yakni hati yang selalu berdzikir kepada
Alloh. Apabila sudah menemukan ulama tersebut tahap selanjutnya adalah minta
diberikan petunjuk atau jalan menuju Alloh melalui metode dzikrulloh sesuai
tuntunan Rasululloh SAW, disebut juga
talqin dzikir. Dan adalah Nabi SAW mentalqinkan kalimah thoyyibah ini
kepada sahabat-sahabat r.a. untuk menjernihkan hati mereka dan mensucikan jiwa
mereka agar mereka bisa sampai kepada Alloh (HR Syadad bin Aos,
Thabrani, Ahmad Yusuf Kaorani).
Sebagaimana telah diuraikan di atas
bahwa dzikrulloh ada dua macam, yaitu dzikir jahar (diucapkan dengan lisan) dan
dzikir khofi (diucapkan dalam hati tanpa kata tanpa suara). Perintah dzikrulloh
sudah jelas terpateri di dalam Al-Qur’an, adapun metode pengamalannya
disyariatkan oleh Rasululloh SAW. Hadits tentang dzikir jahar dengan kalimah
Laa ilahaa illalloh dan metode amaliahnya diuraikan di atas (HR Imam Ahmad dan
Tabrani, lihat di atas). Satu lagi yang diriwayatkan oleh Syadad bin Aos: Kami
semua dengan para sahabat berada di dalam masjid. Tak lama kemudian datang
Rasululloh SAW, sabdanya: apakah dalam kumpulan ini ada orang asing?
(maksudnya ahli kitab). Setelah dijawab tidak ada, selanjutnya Nabi
memerintahkan menutup pintu dan bersabda: Angkatlah kedua tangan kalian
dan ucapkan oleh kalian ‘Laa ilahaa illalloh’. Lalu para sahabat mengucapkan
kalimah tersebut bersama-sama. Selanjutnya Nabi berdo’a….
Metode berdzikir khofi pertama kali
ditalqinkan kepada Abu Bakar As-Siddiq r.a. ketika Nabi SAW dan Abu Bakar
bersembunyi di Gua Tsur saat dikejar oleh orang-orag kafir. Ketika itu Abu
Bakar r.a. gemetar karena takut persembunyiannya diketahui oleh orang-orang
kafir. Abu Bakar r.a berkata: Ya Rasululloh, mohon Anda memberi petunjuk agar
hati hamba tentram tidak takut dan bimbang seperti ini. Nabi bersabda: Ucapkanlah
olehmu Ismu Dzat. Bagaimana cara mengucapkan dzikir itu Ya Rasululloh? Nabi
bersabda: Harus ingat kamu kepada Rabmu di dalam hati dengan merendah
diri, merasa malu, dan takut, tidak usah diucapkan dengan lisan, cukup dengan
getarnya hati dan detaknya jantung. Cara berdzikir seperti itu harus dari pagi
sampai petang serta ingat terus jangan ada lupanya. Bagaimana kalau lupa Ya
Rasululloh? Rasul menjawab: Jika kamu lupa dari dzikir itu, maka lekas
ingat/dzikir kembali. (lupa… ingatkan lagi, putus … sambungkan lagi,
demikian seterusnya), cara ini berlaku bagi kita yang sedang belajar dzikrulloh
karena banyak lupa daripada ingatnya.
Cepat atau lambat seorang hamba
mencapai derajat tertentu dalam taqorub kepada Alloh bergantung pada ketekunan
dalam mengamalkan dzikir dan amalan-amalan sholeh lainnya seperti taubat,
sholat malam, puasa sunnah, infaq/sodaqoh, membantu sesama, dan amalan lainnya.
Selain bergantung dari usaha kita, yang lebih menentukan adalah kehendak Alloh
Azza wa Jalla. Jika Alloh menghendaki apapun pasti terjadi. Kemudian
hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras dari batu. Padahal
diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya dan
diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya dan
diantaranya ada juga yang meluncur jatuh (QS Al-Baqarah:74). Makna
ayat ini menyatakan kepada kita bahwa diantara sebagian hamba-Nya ada yang
hatinya mudah luluh, ada juga yang langsung terbuka hijabnya hingga mencapai
derajat tinggi. Tetapi ada juga yang atung eneh .. atung eneh (sunda)
alias tidak maju-maju karena malas.
Apabila seorang hamba telah menjalankan
perintah Alloh dan Rasul-Nya melalui bimbingan waliyulloh yang rasyidin (guru
mursyid), yakni amalan-amalan sholeh yang dilandasi dzikrulloh dengan
istiqomah, maka atas kehendak dan izin Alloh akan terbuka hijab yang menutupi
qolbunya sehingga tabir yang selama ini menyelimutinya akan terbuka. Jika hijab
sudah terbuka maka akan terpancar Nur Illahi dari dalam qolbu dan akan
menyaksikan bahwa ruh kita berdzikir kepada Alloh dengan sendirinya atau autodzikrulloh.
Pada tataran ini hamba tersebut sudah mencapai ma’rifatul Asma,
dimana lisannya berdzikir jahar, qolbunya berdzikir khofi, dan ruhnya berdzikir
sirr. Sifat ketiga jenis dzikir itu adalah dzikir jahar terikat ruang dan waktu
dan sangat dekat dengan riya’, dzikir khofi bebas ruang dan waktu tetapi
terikat dengan sifat lupa, sedangkan dzikir sirr adalah dzikir ruh yang bebas
ruang dan waktu maupun lupa, bahkan dalam keadaan tidurpun ruh tetap berdzikir
kepada Alloh (badan turu, ati tangi, roh mandep manjing Alloh).
Berdzikir seperti di atas dapat
dianalogikan dengan bola lampu listrik, dimana qolbu adalah bola lampunya,
sedangkan ruh adalah kawat wolframnya. Bola lampu listrik tidak akan tampak
terang jika kacanya diselubungi oleh kotoran dan tidak akan nyala jika tidak dihubungkan
dengan sumber listrik. Demikian pula dengan qolbu kita, apabila tidak ada
penghubung antara hakikat kehambaan dan hakikat ketuhanan, maka ruh tidak akan
hidup (dalam arti tidak dapat berdzikrulloh dengan sendirinya). Apa
penghubungnya? Sebagai kabel penghubung adalah dzikir khofi sebagaimana
dinyatakan dalam hadits qudsi: Jika ia ingat kepada-Ku di dalam
hatinya, Aku pun ingat pula kepadanya di dalam hati-Ku (lihat di
atas). Jika sudah terhubung dengan Tuhannya, maka ruh kita akan hidup alias berdzikir
sirr tanpa batas. Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya
dengan orang yang tidak berdzikir seperti orang hidup di antara orang mati (HR
Thabrani). Darimanakah sumber energi listriknya? Sumbernya adalah kalimah Laa
ilahaa illalloh melalui tajjaliyyah Alloh Al-kamil, yakni perpaduan Al-Jamil (kutub
negatif) dan Al-Jalil (kutub positif). Sebagaimana firman-Nya
dalam hadits qudsi: Manusia adalah sirr-Ku dan Aku adalah sirrnya.
Adapun dzikir jahar Laa ilahaa illalloh
disamping sebagai sumber energi juga berperan untuk membersihkan kotoran yang
menutupi kaca bola lampu atau membersihkan qolbu dari noda dan dosa yang
dilakukan setiap hari hingga menutupi qolbu dan menjadi keras.Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya kalimah Laa ilahaa illalloh itu mendatangkan
pengampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang mu’min laki-laki dan perempuan (QS
Muhammad:19). Dengan kata lain, kalimah Laa ilahaa illalloh adalah kunci untuk
membuka pintu hati sehingga hijab yang menutupi qolbu menjadi terbuka dan
pandangannya dapat menembus ‘Arasy selama menjauhi dosa besar (lihat di atas).
Fenomena di atas diungkapkan juga oleh Imam Al-Gazaly: bukalah pintu hatimu
dengan kunci kalimah Laa ilahaa illalloh (dzikir jahar) dan bukalah
pintu ruhmu dengan dzikir khofi, dan pikatlah burung rahasiamu
dengan dzikir sirr.
Intensitas dan frekuensi cahaya dalam
qolbu bergantung pada ketekunan dan keistiqomahan dalam mengamalkan dzikrulloh.
Bagaimana ruh kita akan mampu berdzikir dengan sendirinya (autodzikrulloh)
apabila tidak dibukakan pintu ruhnya dengan berdzikir khofi, demikian juga
terangnya tidak akan tampak apabila pintu qolbunya tidak dibuka terlebih dulu
dengan kunci kalimah Laa ilahaa illalloh yang dijaharkan dan
terhujam hingga ke dalam qolbu dalam mengamalkannya. Inilah yang disebut dengan
nur dzikir yang diungkapkan dalam hadits Bukhari (lihat di atas). Dengan
memperbanyak dzikir jahar dan dzikir khofi maka intensitas dan frekuensi cahaya
qolbu makin besar hingga cahayanya makin terang dan di akhirat kelak tidak perlu
dicuci lagi di neraka (lihat di atas) karena qolbunya sudah bening sebening
kaca dan kilaunya seindah mutiara seperti bintang di langit.
Jika hamba tersebut istiqomah di jalan
yang lurus yakni jalannya orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Alloh Maha
Rahman (QS Al-Fatihah: 7) dan ketetapan hatinya semakin teguh kepada Alloh Azza
wa Jalla, maka Alloh akan menaikkan hamba tersebut ke derajat lebih tinggi
hingga ke Sidratul Muntaha dan berada di bawah naungan Arasy’-Nya (lihat di
atas). Umat muslim yang sudah sampai ke derajat ini adalah para Khulafa
Ar-Rasyidin, para Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan Ulama ahladz-dzikri Laa ilahaa
illalloh. Mereka semua adalah waliyuloh, yakni para kekasih Alloh Azza wa
Jalla.
Apabila seorang salik telah dibukakan
hijabnya oleh Alloh dan istiqomah di jalan lurus menuju Alloh, maka atas
kehendak dan izin-Nya, hamba tersebut akan dinaikkan ke langit pertama. Di
langit ini terdapat surga yang derjatnya paling rendah, hamba tersebut akan
menjadi penghuninya dan qolbunya akan menerima Nur Illahi dengan frekuensi
sesuai cahaya surga itu.
Apabila hamba yang sudah terbuka
hijabnya itu tetap setia dan tunduk pada ketentuan Alloh, maka Alloh akan
menaikkan lagi hamba tersebut ke langit kedua, yakni dimensi kesetiaan. Di
langit ini terdapat surga Darul Qarar dan hamba tersebut akan
menjadi penghuninya sebagai balasan atas kesetiaan pada ketentuan Alloh dan
qolbunya akan menerima Nur Illahi dengan frekuensi lebih tinggi dari surga
pertama.
Apabila hamba itu teguh di jalan lurus
dan qolbunya tidak henti-hentinya berdzikrulloh (dzikir yang langgeng), maka
Alloh akan menaikkan lagi ke langit ketiga, yakni dimensi keabadian sebagai
balasan atas keistiqomahan dalam beribadah dan dzikir yang langgeng. Dia akan
menghuni surga Darul Khulud dan qolbunya akan menerima Nur
Illahi keabadian dengan cahaya sangat indah. Keindahannya akan terpancar hingga
ke wajahnya, siapapun orang yang melihat wajah hamba ini akan terpesona dan
tidak bosan dipandang mata, sebagaimana Zulaikha terpesona oleh ketampanan Nabi
Yusuf AS.
Apabila perjalanan spiritual hamba
tersebut sudah memasuki bentengnya Alloh dimana qolbunya diliputi Nur Laa
ilahaa illalloh karena keikhlasannya, maka akan dinaikkan lagi ke langit
keempat. Ingat!! Kalimah Laa ilahaa illalloh adalah benteng-Ku. Barangsiapa
yang memasuki benteng-Ku, ia aman dari siksa-Ku. Langit keempat ini disebut
juga alam Mulki, dimana terdapat surga Ma’wa yang
hanya diperuntukkan bagi hamba-hamba Alloh yang muklis. Di surga ini qolbu yang
muklis akan menerima Nur Illahi sebagai pelindung dari gangguan Iblis atas
keikhlasannya terhadap ketentuan Alloh yang menjadi taqdirnya. Jarak yang
ditempuh menuju alam ini sekira lima ratus ribu tahun cahaya, suatu perjalanan
yang sangat jauh dan melelahkan. Tanpa kasih sayang-Nya, tidak akan ada umat
muslim yang dapat mencapai alam ini, karena begitu sulitnya untuk menjadi orang
yang ikhlas (muklis), yakni orang yang selalu menjaga hatinya untuk tidak
berpaling selain kepada Alloh semata.
Di langit kelima terdapat surga Na’im.
Langit kelima disebut juga alam Jabarut. Bagi hamba Alloh yang
mencapai derajat ini akan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki,
yang tidak akan pernah ditemukan di dunia ini. Sedangkan di langit keenam
terdapat surgaAdn. Jika Alloh SWT menghendaki, hamba tersebut akan
dinaikkan lagi ke langit paling tinggi, yakni langit ketujuh, disebut juga
dengan alam Malakut. Dinamakan malakut karena alam ini adalah
tempat bersujudnya para Malaikat kepada Alloh Azza wa Jalla dan di alam ini
terdapat surga tertinggi, yakni surga Firdaus.
Dalam surga Firdaus qolbu hamba Alloh
yang sholeh ini akan menerima Nur Illahi muth’mainah hingga jiwanya tenang.
Dari jiwa-jiwa yang tenang ini terpancar sifat-sifat Alloh yang melahirkan
perilaku seperti perilaku Rasululloh SAW, baik ucapan, perbuatan, maupun
karakternya. Pada tingkat ini, hamba Alloh tersebut sudah mencapai Marifatul
Af’al atau ma’rifatul sifat karena sudah tidak ada sifat tercela
di dalam hatinya, yang ada hanya sifat-sifat Alloh. Inilah tingkat paling
tinggi bagi umat muslim yang telah mencapai imanan wahtisya’ban dan
kaffah dalam menjalankan syariat Islam.
Bagi hamba Alloh yang terpilih untuk
menjadi waliyulloh berderajat Guru mursyid (rasydin), yakni sebagai seorang
pembaharu atau peneguh iman umat muslim akan dipanggil Alloh menuju Arasy’-Nya
dengan panggilan: Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Masuklah ke dalam jama’ah
hamba-hamba-Ku (QS Al-Fajr:27-29). Panggilan ini memberikan perintah
kepada hamba terpilih untuk tidak diam di surga Firdaus melainkan harus terbang
menuju Sidratul Muntaha di Alam Lahut, yakni alam tempat bersemayamnya Alloh
Azza wa Jalla di atas singgasana ‘Arasy-Nya.
Untuk menuju alam lahut harus mandiri
tanpa dibimbing gurunya lagi sesuai dengan uswah Nabi SAW. Ketika Beliau akan
menuju alam Lahut tidak lagi dibimbing oleh malaikat Jibril AS karena tidak
mampu menuju alam itu. Sedikit saja melangkah ke alam lahut, maka sayap-sayap
Malaikat Jibril akan terbakar. Di alam Lahut, hamba terpilih akan memperoleh
Rahmat Alloh dan ilmu secara laduni sehingga ilmunya sangat luas tanpa batas
sebagaimana firman-Nya: …lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di
antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami(QS
Al-Kahfi, 65). Inilah puncak tertinggi perjalanan spiritual menuju Alloh Azza
wa Jalla, mencapai Ma’rifatul Wujud, yakni melihat
Dzat Alloh dengan dengan wajah berseri-seri (QS Al-Qiamah: 22-23)
melalui pandangan batinnya di alam Lahut. Jika dibandingkan dengan urat
lehernya pun masih dekat kepada Alloh Azza wa Jalla.
Gambaran tentang masing-masing Nur
Illahi di atas dinyatakan di dalam Al-Qur’an pada surat An-Nur, 35: Alloh
(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Alloh adalah
seperti sebuah lubang yang tidak tembus, di dalamnya ada pelita besar. Pelita
itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah
baratnya, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh
api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Alloh membimbing kepada cahaya-Nya
kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia. Dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat di atas menggambarkan qolbu orang
yang beriman diumpamakan sebuah lubang yang tidak tembus, dimana di dalam qolbu
itu ada sumber cahaya Illahi (pelita besar) yang energinya sangat dahsyat dan
tidak akan pernah padam (energi yang kekal). Sumber cahaya Illahi ini masih
dibalut atau diselimuti oleh lapisan-lapisan cahaya yang sangat transparan
seperti kaca dan bersinar seperti bintang dengan kemilau bak mutiara yang
memiliki tingkat energi berbeda.
Jika diungkapkan secara fisika
bolehjadi lapisan-lapisan cahaya di atas mirip dengan struktur atom yang
diajukan oleh Bohr, dimana tingkat-tingkat energi elektron atau kulit
menyatakan lapisan Nur Illahi tetapi nilai tingkat energinya kebalikan dari
model atom Bohr. Di langit pertama terdapat Nur Illahi (cahaya surga pertama)
yang energinya paling rendah. Langit pertama ini, jika dianalogikan dengan
model atom Bohr menyatakan tingkat energi elektron terluar (n = 7), bukan
tingkat energi pertama (n = 1). Pada tingkat energi terluar dihuni oleh
elektron sebanyak 2n2, dan memang surga di langit ini banyak
penghuninya karena banyak umat muslim yang dapat mencapai derajat ini.
Di langit kedua terdapat Nur Illahi
yang energinya lebih tinggi dari Nur Illahi pada langit pertama. Jika
dianalogikan dengan model atom Bohr bolehjadi langit kedua ini menyatakan
tingkat energi elektron kedua dari luar atau n = 6. Demikian seterusnya sampai
langit ke tujuh atau tingkat energi elektron pertama (n = 1) yang maksimal
dihuni oleh dua elektron. Hal ini benar karena hanya sedikit umat muslim yang
dapat menghuni surga Firdaus. Adapun inti atomnya dapat dianalogikan sebagai
pelita besar yang terdapat di alam Lahut, dimana energinya sangat dahsyat.
Bandingkan energi yang dihasilkan dari elektron (energi ionisasi) dengan energi
yang dihasilkan dari inti atom (energi nuklir) perbedaannya sangat besar. Model
lapisan Nur Illahi di atas jika divisualkan dengan model atom Bohr akan tampak
seperti pada gambar berikut.
Jika kita ingin mencapai derajat
tertinggi di sisi Alloh setelah meninggal dunia (wafat), maka kita harus selalu
berusaha untuk mencapai ma’rifatulloh dengan memohom ampunan dan ridho-Nya,
sebab apa yang akan kita peroleh setelah mati akan sama dengan apa yang telah
kita capai di dunia (tidak kurang, tidak lebih). Jika kita belum sampai ke
salah satu Nur Illahi di atas, maka bersiap-siaplah kita untuk masuk ke dalam
neraka, di sana kita akan dicuci hingga semua noda dan dosa yang mengotori kita
bersih. Jika sudah bersih dan memiliki amal sholeh walaupun sedikit,
Insya-Alloh kita akan dimasukkan ke dalam surga karena kasih sayangnya Alloh,
tetapi tidak tahu surga yang mana bergantung pada kehendak-Nya.
Apabila pada waktu hidup kita sudah
sampai ke salah satu Nur Illahi yang terdapat pada langit tertentu, Insya-Alloh
setelah mati kita tidak perlu dicuci lagi di dalam neraka melainkan akan
langsung dimasukkan ke dalam surga sesuai dengan Nur-Illahi yang telah kita capai
sewaktu hidup. Sekarang tinggal bertanya kepada diri kita masing-masing sudah
sampai dimanakah kita dalam beribadah kepada Alloh? Dan Nur Illahi mana yang
telah kita miliki? Jika belum mari kita sama-sama berusaha menjalankan semua
syariat Islam secara kaffah yang dilandasi dzikrulloh secara ikhlas di dalam
qolbu kita masing-masing, semoga Alloh membimbing kita kepada Nur-Nya
Disunting : Agus B adaruddin
Disunting : Agus B adaruddin